Minggu, 19 Mei 2013

Lebih dekat dengan Singkawang, Kalimantan Barat

Jreeeenggg....
berbeda dengan catatan blog sebelumnya, sekarang saya bukan lagi seorang reporter di majalah remaja. Bagai sebuah proses metamorfosis kupu-kupu, sekarang saya berada di wujud kepompong, dimana suatu saat nanti saya akan menjadi kupu-kupu dewasa yang cantik, dan memiliki sayap yang kokoh untuk terbang.
Hmm, baru menginjak 4 bulan saya bekerja di TV Lokal berbau humanis ini. Tapi puji Tuhan, sudah dipercaya untuk meliput event spektakuler, yang menjadi sorotan dunia saat Cap Gomeh.

Yup, bersyukur banget dikasih Tuhan untuk menginjakan kaki di Singkawang, Kalimantan Barat. Ya, kota yang mungkin nggak akan saya kunjungi, meski memiliki uang berlimpah sekalipun. Sebelum berangkat, nggak banyak yang saya ketahui tentang kota yang satu ini. Bermodal browsing, membedah buku "Ragam Pesona Kalimantan Barat", dan wawancara langsung dengan warga asli Singkawang yang tinggal di Jakarta, akhirnya saya memiliki sedikit bayangan tentang Kota Amoy ini.




Ternyata untuk menuju Kota Singkawang, tak sesimpel yang saya bayangkan. Untuk tiba di sana, perjalanan ditempuh dengan pesawat terbang dari Jakarta menuju Pontianak sekitar 1 jam 15 menit. Lalu, setibanya di Pontianak, perjalanan dilanjutkan dengan mobil selama 4 jam, hingga akhirnya tiba di Kota Singkawang.





Singkat cerita, akhirnya saya menapakan kaki dan berkenalan dengan kota ini. Hmm, ternyata kota Singkawang tak terlalu besar. Mungkin hanya seluas Kawasan Tebet yang ada di Jakarta. Yup, selama 8 hari menginap di kota ini, akhirnya saya mengenal dan memiliki gambaran nyata tentang kota seribu klenteng ini.

Pluralis. Itulah kata yang cocok mendeskripsikan kawasan China Town Indonesia ini. Di Singkawang terdapat 3 suku mayoritas yang hidup berdampingan, yaitu Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Pernikahan beda etnis pun mudah ditemukan di tempat ini, misalnya suku Tionghoa-Melayu, Melayu-Dayak, dan Tionghoa-Dayak.

Meski dimukimi 3 etnis berbeda, namun etnis mayoritas ditempati oleh suku tionghoa. Dominannya suku Tionghoa, terlihat jelas dari jumlah wihara yang berdiri kokoh di kota ini. Tak heran, Singkawang dijuluki sebagai kota seribu kuil, karena hampir sepanjang jalan dapat dijumpai tempat ibadah umat budha dan konghucu ini. salah satu wihara tertua dan bersejarah di Singkawang adalah Vihara Tri Dharma Bumi. Wihara ini merupakan ikon kota Singkawang.       


Tak hanya wihara, keberadaan  suku Melayu di Singkawang juga tak lepas dari Masjid Raya, yang letaknya bersebrangan dengan Vihara Tri Dharma Bumi. Masjid berwarna hijau ini, merupakan masjid bersejarah dan juga adalah ikon kota Singkawang.


Berbeda dengan Jakarta, lalu lintas di Singkawang jauh dari kata macet. Kendaraan umum seperti angkot semacam mikrolet dan KWK, tak dapat dijumpai di kota ini. Satu-satunya angkutan umum yang saya jumpai adalah bus berukuran sedang, sejenis metromini atau kopaja. Berdasarkan pengamatan saya, kebanyakan warga singkawang menggunakan sepeda motor, mobil dan berjalan kaki dalam kesehariannya.

                           
Letak kota Singkawang yang ada di pesisir pantai, menyebabkan hampir sebagian besar warga Singkawang berprofesi sebagai nelayan. Sisanya, berprofesi sebagai pedagang dan karyawan.



Dalam bidang pendidikan, Singkawang memang agak terbelakang. Jumlah gedung sekolah pun sebatas hitungan jari. Tak semua masyarakat Singkawang melek pendidikan, sehingga banyak anak-anak yang memutuskan membantu orangtua mencari nafkah, dibandingkan duduk di bangku sekolah. Bahkan, lembaga sekolah tinggi atau universitas, tak dapat dijumpai di kota ini. Alhasil, banyak anak muda yang rindu melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi, harus pergi merantau ke kota-kota besar. Namun, ada yang unik di ranah pendidikan Singkawang, yang belum pernah saya jumpai di kota lain. Di kota ini, terdapat sekolah Mandarin yang merupakan pilihan alternatif dibidang pendidikan. Dimulai siang menjelang sore hari, kebanyakan siswanya merupakan anak-anak kurang mampu yang umumnya bekerja di pagi hari. Seperti namanya, sekolah ini bertujuan melatih kemampuan berbahasa mandari anak supaya mampu bersaing di dunia pekerjaan, meski tak mengenyam pendidikan di jenjang formal. Pelajaran difokuskan pada bahasa mandarin dan juga pengetahuan tentang sejarah cina. Dengan menggunakan kurikulum China, buku-buku yang digunakan di sekolah ini didatangkan langsung dari China, yang didapatkan dari Duta Besar. Waktu saya mengunjungi Singkawang, Sekolah Mandari baru tersedia hingga tingkat SMP. Jika sudah lulus, para siswa akan mendapatkan sertifikat tanda kelulusa nuntuk bekal mencari pekerjaan, atau melanjutkan studi di tembok China.


Perekonomian yang kurang baik, juga menyebabkan kota Singkawang begitu krisis tempat hiburan. Bahkan, tempat hiburan seperti Mall, tak dapat dijumpai di sini (*kedepannya akan ada mall, karena sedang dalam perencanaan yang dikelola oleh pengusaha dari Jakarta). Satu-satunya hiburan yang unik di Singkawang adalah Karaoke Live. Jadi warga singkawang boleh bernyanyi, dan uniknya penampilan mereka akan tampil di TV Kabel singkawang secara langsung. Syaratnya pun mudah, cukup membayar Rp. 5.000/ lagu dan langsung jadi artis dadakan. hihihihihiiiii...  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar